history of the future
SERIBU KUNANG-KUNANG DI TEPIAN GANSAL 
SERIBU KUNANG-KUNANG DI TEPIAN GANSAL 

SERIBU KUNANG-KUNANG DI TEPIAN GANSAL 

Janainah sedang memoles bibirnya yang tipis dengan gincu murahan berwarna merah pekat ketika saya mengetuk pintu rumahnya malam itu. Rambutnya yang lebih banyak warna putih ketimbang hitam disanggulnya ke belakang. Ia duduk di lantai semen yang dingin. Sembari membenarkan leher bajunya yang lusuh bermotif bunga-bunga berwarna mencolok, ia tersenyum dan menyilakan saya duduk. Kulitnya yang kuning dengan bercak coklat nyaris di seluruh bagian, bergelombang dan keriput pada leher dan tangannya, menandakan usianya mungkin telah lebih setengah abad. Jangan pernah menanyakan usia dan tahun kelahiran padanya, Suku Talang Mamak tidak mengenal pencatatan, penanggalan, karena kalender dan pencatatan tanggal kelahiran baru dimulai dua puluh tahun silam bagi penduduk yang tinggal di pinggiran hutan lebat yang dinamai Taman Nasional Bukit Tigapuluh oleh pemerintah—kawasan yang setengahnya masuk ke PRovinsi Jambi, setengahnya Riau, tempat Inah tinggal.

“Telah 30 tahun saya membantu persalinan, ratusan bayi. Belum pernah bayi meninggal di tangan saya,” katanya dengan logat Melayu yang kental dan begitu lembut terdengar di telinga saya. Matanya yang sipit tinggal segaris kala tersenyum. Ia menyilakan saya duduk untuk kedua kalinya, dan saya bingung sebab tidak ada kursi yang bisa diduduki, tak ada meja. Kami duduk di lantai semen yang dingin. Daun pintu dibiarkannya terbuka dan angin malam lebih leluasa masuk. Di luar kegelapan begitu leluasa menutupi jarak pandang. Dan kami berbincang panjang.

Tanpa tergesa, bibir mungilnya yang tidak berhenti tersenyum itu menyebut beragam jenis dedaunan, tumbuhan antiseptik yang digunakan, bagaimana cara mengambilnya, sekalian dengan syair, kata-kata yang disebut sebagai mantra yang dibacakan ketika hendak menolong persalinan. Alangkah indah susunan rimanya, kata-kata yang penuh welas asih. Dan, dengan canggung dan sungkan–mungkin karena saya laki-laki—ia menerangkan bagaimana posisi bayi dalam kandungan si ibu, bagaimana memperbaiki posisi sungsang, terlilit tali pusar, tanpa harus membedah perut sang ibu. Ilmu persalinan dari ‘dunia lama’ yang diwarisi Janainah tidak mengenal istilah operasi sesar. Baginya, bayi mesti melihat kehidupan dari sebuah ‘lorong kasih sayang’, tempat ia dilahirkan, bukan dari perut yang dibedah. 

Mandi di Batang Gansal- Potret Janainah (kanan)

Janainah, atau ‘Inah Si Dukun Kampung’ ini makin rumit dan kening saya makin mengkerut ketika ia menerangkan tujuh lapis rahim, tempat paling tersembunyi pada tubuh perempuan yang baginya adalah tempat kasih sayang bermula, tempat kehidupan seseorang berasal. Organ tubuh perempuan yang selama ini saya yakini tidak lebih dari onggokan daging itu, bagi ilmu pengetahuan lama yang diwarisi Inah justru adalah simbol dari kasih sayang di mana kehidupan seseorangdiantarkan untuk melihat dunia. Sementara, payudara adalah penyambung kasih yang lain, sumber kehidupan si bayi, si calon manusia. Bila payudara tidak mengeluarkan air susu ketika si ibu melahirkan, maka Janainah punya banyak ramuan—dan tentu saja tidak didapatkan di apotek. Janainah dan ribuan Suku Talang Mamak—yang sebagiannya masih menetap di perkampungan yang jauh dari keramaian—punya apotek hidup yang disebut rimba. Rimba yang memberi hidup, rimba yang menumbuhkan tananaman obat. Hanya butuh berjalan sedikit saja buat memetik tanaman-tanaman yang diperlukan. 

“Sekarang, tanaman obat makin jauh, susah dicari,” perempuan tua itu masih tersenyum, seakan tidak terjadi apa-apa dengan kata-katanya. Rimba, hutan, sebagaimana yang harusnya Anda ketahui, memang sumber hidup banyak orang, namun juga ia sumber persoalan beberapa dekade belakangan. Pemodal-pemodal gendut menanamkan modal untuk mengambil alih hutan, mengisinya dengan komoditas baru yang siap bersaing di pasar global, dunia bisnis menamainya sebagai hutan tanaman industri. 

Lahan-lahan luas membentang berubah menjadi tanaman industri yang memasok kertas, minyak, batu bara. Perkebunan-perekebunan luas tercipta, karet dan sawit tumbuh subur. Di banyak tempat, secara implisit, orang-orang berdasi bicara tentang tanaman industri dan perkebunan yang telah membuat jutaan anak bisa sekolah, jutaan otak butuh nutrisi. Tapi,perkebunan jugalah yang membuat kepala-kepala tak berisi menjadi kaya raya dan mencalonkan diri jadi wakil rakyat yang sengsara. Betapa, sawit, karet, akasia adalah tumbuhan pembawa cahaya. Dengan sawit, desa-desa yang gelap diterangi lampu. Dari sumber daya alam dan tambang, negara mengisi kantongnya untuk menghidupi warganya, untuk mencerdaskan masyarakatnya dengan pendidikan. Bukankah bangku-bangku sekolah membutuhkan biaya yang besar? 

Inah tidak mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Ia, akunya, mewarisi pengetahuan lama tentang persalinan dari moyangnya yang juga tidak duduk di bangku sekolah. Sekolah, bagi Inah, adalah hutan, alam raya dan pengetahuan ini tidak serta-merta didapat dengan mudah; duduk bertahun-tahun mendengarkan ocehan guru kemudian menyandang titel dan jadi seorang yang ahli. “Hanya orang-orang terpilih,” katanya; orang yang tidak mampu berdusta, perempuan penyabar yang menolak segenap hal buruk termasuk keinginan yang begitu banyak bersarang dalam sanubari. 

Hingga saat ini, sebagian kecil masyarakat Talang Mamak yang hidup di pinggiran dan dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh masih melahirkan dengan pertolongan dukun, walau kata “dukun” itu sendiri telah mengalami degradasi yang cukup kurang ajar hingga masyarkat mendekatkan dengan praktik gelap ajaran lama. 

Seiring waktu, Janainah tidak lagi dipanggil dukun beranak, mereka menyebutnya ‘bidan kampong’. Dunia kesehatan modern yang terpisah tak sampai 100 kilometer dari kampung Inah, menganggap ‘bidan kampong’ atau dukun beranak sebagai praktik hitam penuh keraguan yang tak higienis. Mahasiswa-mahasiswa kedokteran di kampus-kampus ternama dengan lidah mereka yang ringan bicara akan betapa mengerikannya ilmu pengetahuan dan tatacara persalinan tradisional seperti yang diwarisi Inah dari moyangnya ini. Sementara di Indonesia sendiri, paling banter baru dua generasi yang dilahirkan dari persalinan modern.

Sekali persalinan, Inah mendapatkan tanda terima kasih berupa beras, penganan, kadang uang yang tidak pernah ia ingat berapa jumlahnya—saking sedikitnya. Sederet angka yang tertera pada lembaran mata uang tidak banyak menentukan bagi profesi Inah. Ia tidak dihargai oleh angka, katanya. Dunia kesehatan dan persalinan Suku Talang Mamak bagi Inahadalah bagaimana Anda membantu orang lain tanpa pamrih, ia tidak terikat pada harga, walau pengetahuan yang diwariskan selama ribuan tahun ini dipelajari dengan proses yang tak kalah rumit dari ilmu kedokteran di universitas-universitas. 

Bila orang tua si bayi membuat hajatan, maka Inah diundang sebagai tamu kehormatan yang membawa bayi ‘turun mandi’, mengenalkan calon manusia pada berbagai rasa pahit, manis, asam. Di tempat di mana Feminisme Yang Agung belum menjalar sebagai ajaran suci ini, dukun beranak, yang tentu saja dilakoni oleh perempuan, mendapat tempat yang tinggi dan terhormat melebihi ahli-ahli kandungan dan persalinan yang bertebaran di Indonesia yang kaya.

Dukun beranak bukanlah profesi, ia adalah tanggung jawab yang diemban sampai mati oleh Inah dan perempuan ini tidak hidup dari upah persalinan. Untuk kebutuhan hidup, ia sehari-hari mengumpulkan sayur dan buah-buahan hutan, bertanam ragam tumbuhan, berakit ke seberang sungai, mandi di sungai, dan tertawa seenaknya. Entah menertawakan siapa, tidak perlu bertanya. Suku Talang Mamak tertawa kapan dia ingin tertawa, lucu atau tidak bukan hal yang perlu dipertanyakan.

Potret keseharian masyarakat Talang Mamak dengen sungai mereka

Seekor kunang-kunang terbang dari balik daun jendela, membelah kegelapan malam, mengepakkan sayap menuju tepian Batang Gansal. Dalam gelap, kunang-kunang yang terbang sendiri itu bertemu gerombolannya. Seribu kunang-kunang beterbangan, berkedipan di tepian Gansal. Di seberang sungai, hutan hijau masih tersisa buat Inah dan ribuan orang yang bermukim di sepanjang tepiannya; Lemang, Siamang, Pengayauan, Maketung, Airbomban, Sadan, Suit, Datai—kampung-kampung kecil yang dihuni Suku Talang Mamak di Indragiri Hulu, Riau. Para antropolog yang berpikiran maju menyebut mereka sebagai indigenous people, masyarakat adat—sementara orang-orang yang tidak bergantung pada lebatnya rimba di kota-kota akankah berterima bila disebut sebagai masyarakat tak beradat? 

Tarian kunang-kunang telah hilang dan pagi baru saja dimulai di Lemang, dusun terakhir yang dialiri cahaya PLN. Jalan tanah penuh batu yang membentang dari keramaian Lintas Sumatra masih lengang, satu-dua pria berjalan membawa parang menuju ladang. Inah membopong keranjang dari anyaman pandan bersama saudara perempuannya yang juga sudah sepuh. Mereka turun ke Batang Gansal, berakit dengan galah ke seberang, masuk hutan mengumpulkan asam, buah-buahan dan kemenyan. Masyarakat Talang Mamak, baik pria dan wanita, gemar menghisap rokok dari kemenyan sembari menganyam tikar.

Inah menghilang di balik belukar di seberang sungai, dan matahari pagi memancarkan sinarnya yang keemasan, terpacak di Sungai Gansal, memantul di solar panel di atap-atap rumah warga. Cahaya pagi juga telah masuk lewat kisi-kisi jendela rumah Mardius. 

Di rumah kayu yang setengahnya dijadikan warung inilah saya menyeruput kopi bersama lelaki 60 tahun, Mardius. Sejak bangun pagi, ia telah memberi makan ayam. Laki-laki Talang Makmak begitu gemar dengan ayam jago, juga menggemari sabung ayam. Istrinya buru-buru menanak nasi yang ditancap ke listrik negara yang sejak 2017 masuk ke kampung ini berbarengan dengan barang-barang elektronik. “Penanak nasi listrik tidak perlu ditunggu, ia akan matang sendirinya, “kata Simas, istri Mardius. Padi, kata Simas, tidak lagi ditanam di sini, mereka menanak beras yang yang datang dari daerah lain dan ia dapatkan  di pasar atau Indomaret yang tak sampai sejam berjalan dari rumahnya di tepi Batang Gansal. Sembari menunggu penanak listrik itu memberi tanda,  Simas menyalakan televisi yang menayangkan acara gosip pagi, perceraian sepasang selebritas, harga-harga barang mewah yang digunakan youtuber. Di bawah atap bagian pojok ruangan masih tergantung tungap, tempat obat tradisonal yang berisi sirih, pinang dan kemenyan, terbuat dari anyaman pandan yang dipercayai  sebagai penangkal roh jahat.

“Bodrex habis, tinggal Procold ja,” Simas menyahut dan beranjak dari duduknya untuk memilah butiran obat dari stoples dan memberikan pada seorang lelaki bertelanjang dada. Dengan menyerahkan uang, lelaki itu berlalu. Simas kembali ke pertapaannya menatap televisi dengan raut wajah bingung, kadang tersenyum sendiri. Di belakang Simas, Mardius membenarkan letak gigi palsunya yang mulai longgar dari gusinya, membuat ia agak kesusahan bila tertawa, kadang terlihat menyeringai seperti harimau yang mengejek mangsa yang tidak disukainya. 

“Di Datai sedang hujan, sebentar lagi air akan besar,” Mardius membuka perbincangan sembari mencelupkan biskuit ke minuman yang masih mengeluarkan uap panas. Datai, kampung di pinggir Batang Gansal bagian hulu. Batang Gansal, sungai yang berhulu di tengah rimba Bukit Tigapuluh mengalir dan menyambung dengan sungai-sungai besar lainnya yang bermuara ke pantai timur Sumatra, di masa lalu tempat lalu-lintas komoditas rimba diperdagangkan hingga ke Malaka.

Mardius sendiri menyaksikan bagaimana perubahan yang begitu tergesa menjalar sepanjang Sungai Gansal, bagaimana batubara dikeruk dan kemudian habis, bagaimana kekayaan datang tiba-tiba kemudian lenyap secara mendadak dan menyisakan lahan-lahan yang rusak, bagaimana hutan disulap menjadi perkebunan dan kayu-kayu besar lewat di Sungai Gansal, kemudian pemerintah mulai memakai jasanya sebagai pelindung hutan dari kepunahan. 

“Sesal? Sudah terlambat! Hutan adat Sialang, sudah jadi ‘sialang sawit’. Kau lihat, madu lebah sudah berwarna hitam! Lebah pun sudah tertipu karena menghisap bunga sawit.  Lihat Patih Laman, setelah meninggal, hutan makin habis,” ia bercerita tentang tokoh penerima Kalpataru dari pemerintah tahun 2003 yang kini telah tiada. Dengan tatapannya yang seperti harimau demam, Mardius juga bercerita tentang agama-agama merebut hati masyarakat Talang Mamak, bagaimana orang Talang Mamak yang sudah memeluk Islam menyebut dirinya Melayu, sementara yang masih bersetia pada ajaran lama atau yang telah memeluk Katolik, akan dengan bangga menyebut dirinya ‘orang Talang’ kadang “Tuha”. 

Sore hari, orang-orang pulang dari hutan dengan rakit-rakit kayu mereka. Simas, Inah, Bu Katak, juga ibu-ibu yang lain masuk ke kampung, tertawa-tawa, membawa hasil hutan, menjunjung rumbai di kepala. Di malam hari, mereka akan merajut rumbai menjadi tikar, atau menonton sinetron buatan selebritas Jakarta. Di tepian Gansal, kunang-kunang beterbangan sepanjang malam.

Publis di Kumparan Plus