^
story | travel | indigenous
KAMBOJA DARI JENDELA TUK-TUK
KAMBOJA DARI JENDELA TUK-TUK

KAMBOJA DARI JENDELA TUK-TUK

AWAL TAHUN 2024, hujan belum turun selama bermingu-minggu dan gerah merambat ke sekujur kota, ke pagoda-pagoda, ke jalan-jalan di Phnom Penh yang murung. Di antara pasar-pasar tradisional yang terjebak dikungkung gedung-gedung kusam pertokoan dan apartemen, rumah-rumah susun yang menghadap ke Sungai Mekong—sungai lusuh yang melintang panjang membelah ibu kota Kamboja—saya mengenal seorang lelaki bernama Dy. 

“ ‘D-y’ dibaca ‘di’, bukan ‘d-i-e’ yang berarti ‘mati’ dalam bahasa Inggris. Kematian telah terlalu banyak di Kamboja ini,” katanya pada saat kami bersalaman. 

“Hanya Dy,” kata lelaki itu menegaskan kembali. Nama yang terlalu singkat untuk rata-rata orang sebangsanya. Dy seorang lelaki Khmer berperawakan klimis dan ramping. ”Dy, walau singkat, tapi artinya panjang,” mimiknya mulai serius. Dia berdiri dari tempat duduknya dan menunjukkan cara menulis namanya dalam aksara Khmer dengan mengoret kaca tuk-tuk yang retak menggunakan jari telunjuknya dan berharap saya mengerti. “Dy, berarti tangguh, bisa juga artinya hebat atau beruntung,” katanya lagi. Nama sepertinya begitu memiliki arti penting di Kamboja, apalagi bagi Dy. ‘Apalah artinya sebuah nama’ kata Shakespear justru tidak berarti apa-apa di Phnom Penh, kota yang tidak bisa dipisahkan dari tirani berlumuran darah yang terbagi secara tajam antara kaya dan miskin seperti halnya di negara berkembang lainnya.

Bersama lelaki ‘tangguh dan beruntung’ inilah, saya berkeliling Phnom Penh dan beberapa daerah lain di Kamboja menggunakan harta satu-satunya yang paling berharga miliknya: tuk-tuk berwarna kuning seperti warna bendera partai yang pernah berkuasa puluhan tahun di Indonesia yang kini telah usang, seusang tuk-tuk Dy dengan penyok di beberapa bagian bekas tabrakan. “Entah kenapa orang suka sekali menabrak tuk-tuk saya ini,” katanya dengan bahasa Inggris yang mudah dimengerti. Namun, dengan tuk-tuk penyok inilah, katanya, ia bisa menafkahi ketiga anaknya, membayar cicilan istrinya di bank, membantu biaya sekolah dua orang saudaranya, juga memberi makan ibunya yang telah uzur. Sekali sebulan, ia akan balik ke kampungnya di utara, dua jam naik bus dari Phnom Penh. 

“Saya hapal semua jalan di Phnom Penh ini. Percayalah. Saya bisa menerangkan bagaimana sejarah Kamboja ini juga, orang-orangnya, semua jalannya,” Dy terus mengoceh dengan earphone tercantol terus di telinga kirinya. “Kalau mengantar penumpang saya tidak bisa membaca, maka saya bisa mendengar berita, audiobook, dan podcast dari smartphone,” katanya menerangkan. 

Berapa kamu harus saya bayar buat mengantar saya berkeliling? Saya mengulang pertanyaan yang sama, tapi dia tetap tidak menyebutkan angka. Setelah mencopot earphone di telinganya, bukannya menyalakan mesin tuk-tuk, ia malah memberi saya khotbah tentang kategori penumpang asing yang layak duduk di jok belakang tuk-tuknya yang kempot itu. Ia menjabarkan begitu banyak jenis ras dari negara-negara yang berbeda yang pernah diantarnya berkeliling Phom Penh; turis tak tahu diri yang sama sekali tidak menaruh rasa hormat padanya,  orang yang berbicara merendahkan masyarakat Kamboja, atau penumpang yang seperti bos di dalam tuk-tuknya. Ia tidak menyukai penumpang-penumpang jenis itu—dan untungnya saya bukan jenis orang yang tidak disukai Dy Sang Egalitarian.  

Tuktuk berjalan seperti kutu yang merayap di tengah kota ketika matahari baru bangkit menyinari gedung-gedung pertokoan, apartemen berwarna kusam. Pada satu pasar yang terserak di pinggir jalan, di sisi pagoda, kami berhenti buat sarapan. Di hadapan kami semua lewat, gerobak sebesar mobil yang ditarik sepeda motor, orang bersepeda, perempuan bersuara kencang mengalahkan knalpot tuk-tuk, lapak daging dan ikan, pisang dan sayur-mayur, kue basah. Biksu-biksu berbalut pakaian oranye mendatangi satu per satu lapak pedagang, menunggu pedagang memberi uang, dan sesekali pedagang rukuk memegang kaki orang-orang suci itu, sembari melafalkan entah apa, barangkali doa. Orang-orang di pasar begitu menghormati biksu mereka.

Kami sarapan roti kering num pang dalam bahasa Prancis disebut baguette yang jamak ditemui di Prancis; mengingat negeri ini cukup lama dijajah negeri Napoleon itu sejak 1863 masih meninggalkan jejaknya di Indocina walau bendera Kamboja tertancap di mana-mana, seperti negara komunis saja, atau seperti Indonesia saat masa pemilu. Kamboja memang pernah diisi oleh komunis setelah Prancis, sang penjajah mereka, angkat kaki.

Tuk-tuk kami kembali membelah Phnom Penh, menyalip kendaraan yang bejibun, mengabaikan lampu merah dan rambu-rambu, melabrak arah. Ketika tuktuk kami berhenti di lampu merah—Dy harus berhenti kali ini karena ada polisi yang berjaga—ia merogoh saku dan membuka dompet, memberi satu lembaran uang pada pengemis. “Kita harus berbagi, itulah di mana saya merasa senang,” terdengar berlebihan seakan ia orang suci. Dy tersenyum-senyum ketika tuk-tuk terus melaju melewati perkampungan-perkampungan miskin di pinggir Phnom Penh. Lelaki itu memang begitu mudah tersenyum sebagaimana ia juga begitu mudah menunjukkan raut muka marah jika melihat sesuatu yang tidak disukainya. Dy, lelaki 37 tahun yang suka berbicara semaunya seakan apa yang dipikirkannya, dirasakannya, akan keluar seperti air bah dari mulutnya. 

Saya melihat sudut-sudut Phnom Penh dari jendela dan kaca tuk-tuk yang retak, arsitekturnya yang pagoda-pagodanya yang purba, bangunan-bangunan peninggalan dari masa kolonial untuk mengingatkan pengunjung bahwa kota ini pernah menjadi bagian dari kekaisaran kolonial Prancis. Dan ada juga bangunan-bangunan yang menarik secara arsitektur dari tahun-tahun kemerdekaan, namun, seperti halnya bangunan-bangunan dari masa kolonial yang sangat terbatas.

“Ini yang saya sebut tadi, kenapa Kamboja ini susah maju. Orang Kamboja yang pintar sudah banyak yang mati. Dibantai. Dibantai oleh orang gila. Tidak bisa disebutkan dengan kata-kata. Masuk saja,” katanya ketika mesin tuk-tuk berhenti di sebuah gapura dan ia juga berhenti berbicara tentang politik, sejarah negerinya, hingga pembangunannya—ia begitu yakin kalau Kamboja sebentar lagi akan jadi negeri kaya. Phnom Penh pernah dijuluki The Pearl of Asia di tahun 1960-an sebelum revolusi paling berdarah dalam sejarah Asia modern mengubah segalanya.  

Saya memasuki ladang pembantaian Choeung Ek killing field dengan membayar 3 US$. Inilah yang dimaksud Dy tempat yang tidak bisa diterangkan dengan kata-kata. Di tengah lapangan yang dipagut terik tropis, di antara lubang-lubang bekas galian di mana tumpukan mayat dikubur, didirikan sebuah bangunan yang memajang ratusan, entah ribuan tengkorak manusia beragam bentuk. Inilah etalase genosida di mana tengkorak dan tulang belulang manusia dipamerkan; ada yang retak bekas pukulan palu, ada yang bolong bekas hantaman linggis, dan akan teramat sadis bila dituliskan secara detil. Ladang pembantaian ini, salah satunya, di mana jutaan orang Kamboja dibunuh hanya dalam lima tahun saja sejak 1975. Pemerintahan diktator memenjarakan banyak orang yang tidak sesuai dengan ideologi rezim Khmer Merah yang berkuasa kala itu, lalu mengeksekusinya secara massal di ladang-ladang pembantaian. Rezim itu dipimpin oleh seorang anak petani yang baru pulang dari Prancis bernama Saloth Sar. Sejarah menyebut lelaki tambun itu Pol Pot. François Ponchaud, seorang pastor Katolik Prancis sekaligus misionaris untuk Kamboja yang melakukan penelitian terhadap rezim Khmer Merah, menyebutkan bahwa jumlah korban pembantaian itu 2,3 juta orang, 32 persen dari jumlah penduduk Kamboja.  Banyak intelektual Kamboja yang tidak sesuai dengan ideologi rezim, dibunuh.

Dan kini, sebagian dari korban itu ada di depan saya; tulang-belulang mereka, pakaian, gelang, dan entah apa lagi. Inikah yang hendak dipertontonkan ke generasi Kamboja hari ini? Ke turis? Kesadisan yang membuat bergidik—walau Pol Pot dan rekan-rekannya, pada mulanya, menyusun rencana ekonomi empat tahun “untuk membangun sosialisme di segala bidang.”  

Saya keluar dari ladang pembantaian dan kembali berada dalam tuk-tuk Dy.  

“Saya tidak mau masuk ke sana. Itu pembantaian gila,” kata Dy sembari mematut-matut wajahnya di spion tuk-tuk yang kadang seperti tidak berfungsi sebagai spion. Malam kemudian mengambang di Phnom Penh. Saya meringkuk di hotel dibuai udara yang dihembuskan penyejuk udara, Dy meringkuk pulas di tuk-tuknya. Sebelum tidur, ia akan menelpon anak-anaknya. Atau bila terlalu rindu dia dengan anak-anaknya, ia akan pulang beberapa hari. Dy menyebutnya ‘charging energy’. Bila energinya telah penuh, ia kembali ke Phnom Penh. Bekerja, mengantar penumpang, tidur di atas tuktuk, mandi di jamban umum.

“Kau lihat lelaki itu. Berbahaya. Tidak bekerja, mabuk, dan bisa saja ia mengambil telepon dan uangmu,” kata Dy menunjuk seorang lelaki dengan rambut awut-awutan dan berjalan setengah sempoyongan ketika ia menjemput saya pada hari berikutnya. Dy selalu mengutuk para pemalas, pemabuk, yang baginya membuat negaranya susah maju. “They drink, and drunk, and get fighting. No income,” katanya ketika seorang lelaki berjalan terhuyung dan hampir menyenggol tuk-tuk kami di tengah padatnya ibukota. Dy, selama beberapa hari kemudian, akan bertingkah dengan caranya sendiri termasuk menunjuk hidung siapa saja termasuk hidung pemabuk, tepat di depan mereka, dan menilai orang itu dengan analisanya sendiri. Para pemabuk, pemalas, pemadat yang kerjanya bisa saja mencuri, bagi Dy, yang membuat Kamboja miskin. 

Dy seorang yang begitu punya rasa hormat pada siapapun, kecuali orang-orang yang baginya tidak terhormat. Ia  juga seperti seorang pakar psikologi yang mengetahui jenis-jenis manusia di Phnom Penh ini, sebagaimana ia dengan penuh percaya diri mengetahui seluk-beluk kota dengan segala pasarnya, jalan-jalan tikusnya, sejarahnya yang penuh darah.

Jalanan padat telah kami tinggalkan, sekarang melewati jalan berdebu selama setengah jam. Ini kampung para pemadat dan pengedar, begitu kata Dy. Ketika tuk-tuk kami berjalan begitu pelan di gang-gang sempit, sorot mata penuh curiga mengiringi dari kiri dan kanan. Kami terus melewati kampung di pinggri Sungai Mekong, “Semula ini tempat prostitusi, sekarang dijadikan pusat pendidikan Islam oleh orang-orang Campa. Itu bagus,” katanya. Dari jendela tuk-tuk yang tak ada kacanya, saya melihat rumah-rumah, danau yang telah direklamasi di mana berdiri apartemen dan rumah-rumah mewah yang harganya tidak bisa dibayangkan Dy. “Seumur hidup saya bekerja, tidak akan bisa membeli, walau kamar mandinya saja. Haha. Perusahaan dari China, Jepang, Korea, menguasai perekonomian Kamboja. Nanti orang Kamboja sendiri yang membuat perusahaan. Pasti,” kata Dy. 

Pada hari yang lain, saya sendiri di pinggir Sungai Mekong. Memandangi nelayan yang hilir-mudik, lampu-lampu kota kemudian menyala, dan malam kembali turun di Phnom Penh.

Terbit di Koran Tempo

https://koran.tempo.co/read/perjalanan/488316/perjalanan-fatris-m-f-di-phnom-penh